Pembelajaran Kompleks pada Pengembangan Kompetensi Pedagogik Guru Subindikator 125
Oleh: Manikowati
Pembelajaran kompleks? Mungkin sebuah istilah yang masih terasa asing di dunia pembelajaran. Apakah pembelajaran kompleks itu? Bagaimanakah implementasinya dalam pengembangan kompetensi pedagogik guru pada subindikator 1.2.5?
Pembelajaran kompleks menurut Merrienboer dan Kirschner (2007) merupakan sebuah pendekatan yang mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap serta mengkoordinasikan secara kualitatif keterampilan yang berbeda-beda tetapi mendukung dan mentransfer apa yang sudah dipelajari ke dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan pengertian tersebut ada beberapa hal yang bisa diturunkan dari pembelajaran kompleks. Pertama, bahwa pembelajaran kompleks merupakan sebuah integrasi kemampuan, tidak hanya satu kompetensi saja yang dikembangkan. Pembelajaran kompleks mengembangkan tiga kompetensi sekaligus, yaitu pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Kedua, bahwa pembelajaran kompleks dibangun atau dikembangkan dari sub-subketerampilan yang berbeda-beda, yaitu tugas pembelajaran, informasi pendukung, informasi prosedural, dan praktik yang berhubungan dengan tugas pembelajaran yang diberikan. Keempat komponen tersebut merupakan komponen dasar yang dikembangkan dalam pembelajaran kompleks. Ketiga, ada tindak lanjut yang dilakukan pebelajar. Bahwa pebelajar diminta untuk melakukan aksi nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kompleks sesungguhnya merupakan pendekatan pembelajaran yang holistik terintegratif. Pengembangan kompetensi dilakukan secara menyeluruh pada semua kompetensi, baik kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotorik, melibatkan seluruh komponen dasar, baik learning tasks, supportive information, procedural information, maupun part-task practice. serta menuntut adanya praktik-praktik yang harus dilakukan setelah mendapatkan pembelajaran yang berupa experiential learning dan social learning. Dengan pengembangan yang menyeluruh diharapkan kompetensi yang dimiliki oleh pebelajar merupakan kompetensi yang bersifat utuh, termasuk dalam mengembangkan kompetensi diri seorang guru.
Guru menurut Undang-undang nomor 14 tahun 2005 merupakan pendidik profesional yang memiliki tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Jabatan guru beserta tugasnya selanjutnya dipertegas dalam PermenpanRB nomor 21 tahun 2024. Sebagai jabatan fungsional keahlian yang memiliki tugas utama dalam melakukan pembelajaran bersama peserta didiknya maka wajib kiranya guru memiliki kompetensi yang mumpuni untuk menjalankan tugasnya tersebut. Pemenuhan kompetensi bagi guru menjadi syarat wajib yang juga harus dipenuhi. Pada pasal 18 PermenpanRB no. 21 tahun 2024 tersebut disebutkan bahwa guru wajib memiliki standar kompetensi yang disusun oleh instansi pembina sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, guru juga wajib mengembangkan kompetensi secara berkelanjutan sesuai dengan pemenuhan minimal standar kompetensi serta minat dan kebutuhan pelaksanaan tugas jabatannya.
Berpijak dari tuntutan tugas guru yang harus dilaksanakan dan kompetensi yang wajib dipenuhi, guru wajib untuk terus mengembangkan dirinya secara berkelanjutan. Penting juga bagi direktorat jenderal GTK untuk memperhatikan pemenuhan kebutuhan guru tersebut. Salah satu yang sudah dilakukan oleh Direktorat GTK adalah mengeluarkan Peraturan Dirjen GTK nomor 2626/ B/ HK.04.01 tahun 2023 tentang Model Kompetensi Guru. Dalam Perdirjen 2626 tersebut ada empat kompetensi yang harus dikuasi guru sebagai bagian dari kompetensi teknis guru dalam melaksanakan tugas profesinya. Keempat kompetensi tersebut adalah kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Masing-masing kompetensi tersebut terdiri dari level kompetensi, deskripsi, dan indikator perilaku yang harus dikuasi guru, baik guru pertama, guru muda, guru madya, maupun guru utama. Model kompetensi tersebut menurut pasal 2 dapat digunakan dalam pengembangan instrument pemetaan kompetensi guru. Adapun operasional terhadap implementasi dari perdirjen 2626 tersebut selanjutnya dijabarkan dalam Panduan Operasional Model Kompetensi Guru yang diterbitkan juga pada tahun 2023. Dari panduan operasional inilah dikembangkan instrument untuk menjaring kebutuhan peningkatan kompetensi GTK.
Berpijak dari model kompetensi guru tersebut, Balai Besar Guru Penggerak (BBGP) Provinsi Jawa Tengah selaku salah satu Unit Pelaksana Tugas (UPT) dari Direktorat GTK perlu turut andil dalam pengembangan kompetensi guru. Apalagi menurut Permendikbudristek nomor 14 tahun 2022 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Besar Guru Penggerak dan Balai Guru Penggerak, BBGP memiliki tugas dalam pengembangan dan pemberdayaan GTK. Tugas tersebut selanjutnya dijabarkan ke beberapa fungsi, antara lain: 1) melaksanakan kompetensi GTK; 2) mengembangkan model peningkatan kompetensi GTK; 3) melaksanakan peningkatan kompetensi GTK; 4) melaksanakan fasilitasi peningkatan kompetensi GTK; 5) melaksanakan supervisi peningkatan kompetensi GTK; dan 6) melaksanakan pemantauan dan evaluasi pengembangan dan pemberdayaan GTK. Berdasarkan OTK yang diemban, selanjutnya BBGP Provinsi Jawa Tengah melakukan analisis kebutuhan untuk memetakan kompetensi GTK yang harus dikembangkan. Setelah dilakukan refleksi melalui Platform Merdeka Mengajar (PMM) dan Asesmen Refleksi Kebutuhan Belajar (ARKB), BBGP Provinsi Jawa Tengah mendapati bahwa salah satu kompetensi yang butuh dikembangkan untuk guru adalah kompetensi pedagogik dengan subindikator 1.2.5, yaitu Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) secara adaptif dalam Pembelajaran.
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) seiring dengan perkembangan teknologi canggih saat ini merupakan salah satu kebutuhan yang tak dapat dielakkan pemanfaatannya, termasuk oleh guru dalam melaksanakan pembelajaran bersama peserta didiknya. Dengan TIK, diharapkan kondisi pembelajaran menjadi lebih interaktif, kondusif, dan menyenangkan tapi bermakna buat peserta didik. Keberadaan TIK dalam pembelajaran dimaksudkan untuk menciptakan deep learning bagi peserta didik. Memperhatikan pentingnya peran TIK dalam pembelajaran dan kebutuhan guru untuk menguatkan kompetensi pemanfaatan TIK dalam pembelajaran yang diselenggarakan, BBGP Provinsi Jawa Tengah mengembangkan model peningkatan kompetensi untuk mewadahi kebutuhan kompetensi pedagogik pada subindikator 1.2.5.
Memperhatikan kondisi-kondisi tersebut di atas, tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengembangan kompetensi GTK yang dilakukan oleh BBGP Provinsi Jawa Tengah dengan menggunakan pendekatan pembelajaran kompleks. Dengan deskripsi tersebut selanjutnya ingin didapatkan informasi apakah langkah pengembangan yang dilakukan tersebut sudah sesuai untuk mengembangkan kompetensi GTK secara holistik terintegrasi.
Pengembangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah proses, cara, perbuatan mengembangkan, termasuk mengembangkan kompetensi guru. Pengembangan kompetensi guru dalam hal ini merupakan proses atau langkah-langkah yang ditempuh untuk menghasilkan guru yang berkompeten secara berkelanjutan. Berikut adalah pengembangan kompetensi guru yang dilakukan BBGP Provinsi Jawa Tengah dengan menggunakan pendekatan pembelajaran kompleks.
Merrienboer dan Kirschner (2007) menyampaikan bahwa ada empat komponen dasar yang membentuk pembelajaran kompleks, yaitu learning tasks, supportive information, procedural information, dan part-task practice. Masing-masing komponen tersebut dibangun atas langkah-langkah yang sistematik dan sistemik. Sistematik karena antar-komponen saling mendukung satu dengan lainnya. Sistemik karena merupakan satu kesatuan yang memiliki kaitan yang erat antar-komponen.
Learning Task merupakan pengalaman otentik tugas keseluruhan, yang disusun berdasarkan tugas sehari-hari dengan mengintegrasikan keterampilan, pengetahuan, dan sikap peserta didik. Satu set keseluruhan dari tugas-tugas pembelajaran menunjukkan variabilitas yang tinggi. Setiap tugas yang diterima akan penting bagi peserta didik dalam menerima transfer pengetahuan. Untuk itu, detil dari setiap tugas akan sangat membantu peserta didik. Apalagi, jika tugas yang diberikan tersebut diatur dari yang mudah ke yang sulit dan dibangun secara bertahap (scaffolding).
Learning task di pengembangan kompetensi pedagogik bagi guru di subindikator 1.2.5 level 2, tugas keseluruhan yang diberikan kepada peserta didik adalah melakukan tugas kelas, melakukan tugas praktik pada kelas pembelajaran masing-masing, dan berbagi praktik baik dengan teman sejawat. Ketiga tugas tersebut menunjukkan variabilitas yang tinggi. Ada keberagaman tugas yang dikembangkan untuk peserta didik. Hal ini terjadi karena desain pelatihan yang dikembangkan oleh BBGP Provinsi Jawa Tengah mengacu pada pola 70 : 20 : 10. Pola 70 menunjukkan experiential learning (pembelajaran berbasis pengalaman). Peserta didik diminta untuk melaksanakan tindak lanjut hasil dari pelatihan yang dilaksanakan pada kelas tatap muka. Pola 20 merupakan social learning (pembelajaran berbasis sosial) bagi peserta didik. Peserta didik diminta untuk berbagi praktik bai katas pengalaman yang telah dilakukan. Sedangkan pola 10 merupakan proses kelas pelatihan yang dilakukan secara tatap muka langsung.
Berpijak dari pola pelatihan tersebut, scaffolding yang dikembangkan secara utuh pada pengembangan kompetensi pedagogik bagi guru di subindikator 1.2.5 dibangun dengan pola 10: 70: 20. Artinya, pengembangan kompetensi GTK dibangun dari pelatihan tatap muka, pembelajaran berbasis pengalaman yang diikuti dengan pendampingan lapangan, dan pengalaman berbasis sosial.
Guru selaku peserta didik pada pola 10, mendapatkan kelas pelatihan tatap muka secara langsung terlebih dahulu. Pada tahap ini, ada tiga tugas yang harus dipenuhi, yaitu: 1) mengidentifikasi jenis-jenis TIK adaptif untuk pembelajaran; 2) mengeksplorasi fitur-fitur TIK adaptif untuk pembelajaran; dan 3) pemanfaatan TIK adaptif dalam pembelajaran. Penguasaan tugas tersebut meliputi kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan dalam pelatihan di kelas. Hasil pelatihan tatap muka tersebut menjadi modal bagi guru selaku peserta didik pada pelatihan untuk mengimplementasikannya dalam pembelajaran di kelas masing-masing.
Pola 70 merupakan pembelajaran berbasis pengalaman. Pada tahap ini, guru selaku peserta pelatihan diberi kesempatan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki untuk diimplementasikan di kelas yang diampunya. Tugas yang dilakukan peserta pelatihan pada tahapan ini adalah: 1) merencanakan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya; 2) menyiapkan media pembelajaran sebagai hasil produk dari pemanfaatan TIK adaptif; dan 3) memanfaatkan TIK adaptif dalam pembelajaran pada kelas yang diampunya. Setelahnya, guru mendapatkan pendampingan dari pelatih atau fasilitator yang mengampunya saat di pelatihan tatap muka. Pada pendampingan tersebut, guru diajak untuk melakukan refleksi dan merencanakan tindak lanjut atas tugas yang dilakukan selama pembelajaran memanfaatkan TIK adaptif dalam kelasnya masing-masing.
Pola 20 merupakan pembelajaran berbasis sosial. Pada tahap pembelajaran ini, peserta didik, yakni guru yang mengikuti pelatihan, diminta untuk berbagi pengalaman dengan teman sejawat lainnya, yakni guru sesama peserta pelatihan, mengenai implementasi dari pemanfaatan TIK adaptif dalam pembelajaran yang telah dilakukan. Dipandu oleh pengajar atau fasilitator, guru diminta untuk melakukan presentasi dan berdiskusi atau tanya jawab dengan guru-guru lainnya. Hasilnya, para guru saling memberikan inspirasi tentang pemanfaatan TIK adaptif dalam pembelajaran.
Memperhatikan pola penerapan pembelajaran pada komponen learning task dapat kita ambil beberapa tahapan yang berhasil dilakukan dalam pengembangan kompetensi guru subindikator 1.2.5 level 2. Pertama, perancangan tugas-tugas pelatihan untuk guru baik pada pelatihan tatap muka, pembelajaran berbasis pengalaman dan pendampingan, dan pembelajaran berbasis sosial berhasil dirumuskan dengan tetap memperhatikan aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik yang harus dibangun. Kedua, tahapan-tahapan pemberian tugas pada masing-masing pola penerapan pembelajaran juga berbasis dilakukan. Ketiga, tujuan pencapaian kompetensi, yaitu guru-guru di Jawa Tengah dapat menggunakan TIK adaptif dalam pembelajaran berhasil di-setting.
Supportive Information merupakan jembatan antara pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik dengan yang akan dicapai. Untuk itu, pada tahapan ini diperlukan dukungan pembelajaran dan performa dalam pencapaian tugas-tugas yang diberikan. Tahapan ini memerlukan desain strategi pencapaian kognitif atas tugas-tugas pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik, dalam hal ini guru peserta pelatihan, dengan menggunakan mental model yang sesuai.
Dalam komponen supportive information ini, tahapan yang dilakukan dalam mengembangkan kompetensi guru pada subindikator 1.2.5 level 2 adalah menganalisis dan mendesain strategi kognitif dan mental model peserta. Berdasarkan hasil diskusi yang dilakukan, strategi kognitif yang diterapkan adalah menggunakan pola alur MERDEKA pada pelatihan tatap muka, GROW ME dan ALACT pada pembelajaran berbasis pengalaman dan pendampingan, serta STAR yang dipresentasikan pada pembelajaran berbasis sosial. Model pembelajaran ini diasumsikan akan memberikan scaffolding bagi peserta pelatihan untuk mencapai hasil tugas-tugas pembelajaran dan tahapan refleksi. Adapun mental model yang diterapkan dalam pengembangan kompetensi guru subindikator ini adalah operant conditioning (Laure le Cunff: 2024).
MERDEKA merupakan model pembelajaran yang sering diterapkan pada kebijakan Merdeka Belajar. Langkah-langkah yang dilakukan pada model pembelajaran tersebut adalah; 1) Mulai dari Diri; 2) Eksplorasi Konsep; 3) Ruang Kolaborasi; 4) Demonstrasi Kontekstual; 5) Elaborasi Pemahaman; 6) Koneksi Antarmateri; dan 7) Aksi Nyata. Pada tahapan Mulai dari Diri, guru selaku peserta didik yang dikembangkan kompetensinya melakukan refleksi diri atas kemampuan dirinya dalam mengetahui jenis-jenis TIK adaptif untuk pembelajaran. Selanjutnya, pada Eksplorasi Konsep, peserta pelatihan melakukan identifikasi fungsi jenis-jenis TIK adaptif yang dapat digunakan serta fungsi fitur-fitur TIKnya. Di tahap Ruang Kolaborasi, peserta dalam satu kelompok menganalisis kelebihan dan kelemahan dari fungsi fitur-fitur pada TIK adaptif yang telah ditentukan agar mendapatkan gambaran apa yang perlu dioptimalkan dari TIK tersebut. Dari hasil ruang kolaborasi, selanjutnya, peserta pelatihan melakukan tindakan sesuai dengan konsep-konsep yang telah diterima. Di tahap Demonstrasi Kontekstual, peserta pelatihan diberikan kesempatan untuk berkreasi atas pengoptimalan fitur-fitur dari jenis-jenis TIK adaptif yang ditentukan. Hasilnya, peserta memiliki produk TIK yang siap dimanfaatkan untuk pembelajaran. Tidak hanya itu, peserta juga melakukan simulasi menyusun perencanaan pembelajaran dan mempraktikkannnya. Saat proses berlangsung, peserta lain diminta mengobservasi dan berikutnya antarpeserta diminta untuk saling memberikan tanggapan di tahap Elaborasi Pemahaman. Pada tahap Koneksi Antarmateri, peserta melakukan review materi terhadap proses pembelajaran yang sudah berlangsung dan menghubungkannya sehingga diperoleh simpulan adanya keterhubungan antarmateri. Terakhir, pada tahap Aksi Nyata, peserta pelatihan membuat tindak lanjut setelah pelatihan.
GROW ME merupakan model refleksi yang digunakan oleh BBGP Provinsi Jawa Tengah untuk mendapatkan gambaran terhadap pemanfaatan TIK dalam pembelajaran. Langkah – langkah yang dilakukan dalam refleksi ini adalah: 1) Goal- tujuan yang hendak diselesaikan peserta pelatihan dengan memanfaatkan TIK dalam pembelajaran; 2) Reality- kondisi pembelajaran saat ini; 3) Options- beberapa alternatif yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan; 4) What next- tindakan alternatif yang akan dilakukan dan kemungkinan kendalanya; dan 5) Monitoring- proses pengendalian yang dilakukan untuk mencapai tujuan, misal mengenai konsistensi linimasi dan dukungan yang dibutuhkan; dan 5) Evaluation- mengetahui ketercapaian tujuan pemanfaatan TIK dalam pembelajaran.
ALACT merupakan model refleksi lainnya yang dapat diterapkan untuk memperoleh gambaran dari aksi atau tindakan yang telah dilakukan. Dalam hal refleksi terhadap penerapan pembelajaran memanfaatkan TIK adaptif yang telah dilakukan oleh guru peserta pelatihan, BBGP Provinsi Jawa Tengah menggunakan model ALACT ini untuk mengetahui gambaran pembelajarannya. Langkah-langkah yang dilakukan adalah: 1) peserta pelatihan melihat video atas pembelajaran yang dilakukan dengan memanfaatkan TIK (Action); 2) peserta melihat kembali dengan cermat aksi pembelajaran yang sudah dilakukannya (Looking back to the action); 3) peserta memperhatikan dengan seksama aspek penting yang dilakukan (Awareness of the Essential Aspects); 4) peserta pelatihan menyusun metode atau strategi penerapan pembelajaran yang dibutuhkan (Creating alternative method of action); dan 5) usaha yang telah dilakukan peserta dalam menerapkan pembelajaran (Trial).
STAR- Situation, Task, Action, Result and reflection, merupakan langkah-langkah yang dapat digunakan dalam menyusun bahan berbagi praktik baik. Situation dijabarkan oleh peserta pelatihan mengenai kondisi yang melatarbelakangi dilakukannya praktik baik penerapan pembelajaran menggunakan TIK adaptif. Task merupakan tantangan untuk menjawab situasi yang menjadi latar belakang. Dalam hal ini, tanggung jawab dan peran peserta pelatihan dalam mengimplementasikan pembelajaran memanfaatkan TIK adaptif dideskripsikan. Selanjutnya, pada tahap action, guru mendetilkan aksi yang telah dilakukan dalam pembelajaran memanfaatkan TIK adaptif sampai dengan hasil (result) dan mengungkapkan pula hasil refleksi yang dilakukan atas aksi dan hasilnya tersebut.
Semua aktivitas yang dilakukan, baik pada pelatihan tatap muka langsung, pembelajaran berbasis penglaman dan pendampingan, serta berbagi praktik baik, pengajar atau fasilitator menerapkan model operant conditioning untuk menstabilkan mental peserta pelatihan. Operant conditioning (Laure le Cunff: 2024) merupakan salah satu model untuk menjaga mental peserta didik dengan memberikan penguatan atau hukuman atas apa yang dilakukan peserta. Maksudnya, dalam aktivitas pembelajaran yang dilakukan oleh peserta pelatihan tersebut, pengajar atau fasilitator memberikan kesempatan kepada peserta untuk saling berdiskusi, bertanya jawab antarpeserta dan selanjutnya memberikan penguatan atau reinforcement atas apa yang diperoleh atau dilakukan.
Memperhatikan deskripsi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pengembangan kompetensi pedagogik guru terhadap subindikator 1.2.5 level 2, mengandung komponen supportive information, dimana strategi pembelajar dan mental model didesain dan dimplementasikan dengan baik sesuai model pelatihan yang telah disusun. Strategi-strategi tersebut dilakukan untuk memberikan pembelajaran yang wellbeing bagi peserta pelatihan.
Komponen selain learning task dan supportive information adalah procedural information. Procedural information menurut Merrienboer dan Kirschner (2007) merupakan informasi yang didesain sebagai prosedur bagi peserta didik untuk belajar dan melakukan tugas-tugas yang diberikan. Untuk itu, perlu dianalisis syarat yang diberikan kepada peserta pelatihan sebelum mengembangkan kompetensi diri. Selain itu, perlu juga dilakukan analisis agar performa guru benar-benar tercapai.
Ada beberapa hal yang perhatikan pada komponen procedural information ini. Pertama persyaratan yang harus dipenuhi oleh para calon guru yang mengikuti pengembangan kompetensi pedagogik guru subindikator 1.2.5 adalah mereka yang telah memahami potensi TIK yang adaptif dalam mendukung pembelajaran. Kedua, performa yang akan dicapai oleh guru peserta pelatihan adalah guru yang mampu menggunakan TIK secara adaptif dalam proses pembelajaran. Yang ketiga, ada prosedur atau tahapan-tahapan yang akan dilalui peserta untuk mencapai performa tersebut, yaitu, mengidentifikasi jenis-jenis TIK adaptif, mengeksplorasi fitur-fiturnya sehingga menjadi produk TIK yang siap digunakan untuk pembelajaran, dan menyimulasikan pemanfaatan TIK adaptif dalam pembelajaran. Dengan demikian, pengembangan kompetensi pedagogik guru subindikator 1.2.5 memenuhi komponen procedural information dalam pembelajaran kompleks.
Terakhir, komponen dasar dari pembelajaran kompleks adalah part-task practice. Pada bagian ini guna mempertahankan kemampuan yang dimilikinya, peserta didik perlu melakukan praktik-praktik yang berulang dari kompetensi yang sudah dipelajari sehingga dapat mengembangkan secara otomatis performa dirinya. Untuk itu, dalam hal pengembangan kompetensi pedagogik guru subindikator 1.2.5 level 2 ini, peserta pelatihan diberikan tugas menggunakannya TIK adaptif dalam proses pembelajaran yang diampu. Setelah dilakukan refleksi atas praktik pembelajaran pun peserta diberikan kesempatan untuk melakukan siklus pembelajaran berikutnya guna menyempurnakan kompetensinya dalam mengelola pembelajaran. Berikutnya, berbagi praktik bai katas praktik pembelajaran. Tak hanya sampai proses pembelajaran berakhir, pengembangan kompetensi ini tetap berlanjut. Pengajar atau fasilitator melalui saluran media sosial tetap memberikan motivasi dan memonitor para guru dalam meggunakan TIK adaptif dalam proses pembelajaran. Dari deskripsi tersebut dapat disimpulkan bahwa pengembangan kompetensi pedagogik guru subindikator 1.2.5 level 3 yang diselenggarakan BBGP Provinsi Jawa Tengah memenuhi komponen part-task practice.
Memperhatikan deskripsi-deskripsi yang telah disampaikan dalam penyelenggaraan kompetensi pedagogik guru subindikator 1.2.5 dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan pembelajaran kompleks terimplementasikan dengan baik. Pertama, aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap menjadi kompetensi diri yang tidak terlepas dalam setiap bagian pembelajaran yang berlangsung, baik pada pelatihan tatap muka langsung, pembelajaran berbasis pengalaman, maupun pembelajaran berbasis sosial. Kedua, keterampilan pendukung berupa dari komponen dasar berupa learning task, supportive information, procedural information, dan part-task practice, dapat dianalisis, disusun, dan didesain dengan baik dalam setiap tahap pembelajaran yang diselenggarakan dengan pelaksanaan tugas-tugas yang sesuai. Terakhir, pengembangan kompetensi tersebut tidak hanya dilakukan dalam pelatihan saja tetapi ada transfer yang dilakukan ke dalam proses sehari-hari. Dalam hal ini, ada proses transfer ilmu dan keterampilan dari pelatihan ke dalam proses pembelajaran yang diampu. Dengan pendekatan pembelajaran kompleks ini, kompetensi yang dimiliki oleh guru menjadi kompetensi yang holistik. Rekomendasinya, BBGP Provinsi Jawa Tengah dalam memberikan layanan pengembangan kompetensi guru tetap menerapkan pendekatan pembelajaran kompleks. Kepada para guru yang telah mendapatkan layanan pengembangan kompetensi pedagogik subindikator 1.2.5 untuk dapat mendesiminasikan hasil pengembangan dirinya ke teman sejawat, baik yang di satu sekolah maupun ke komunitas-komunitas belajar sekitarnya.
Referensi:
Laure le Cunff, Anne. 2024. 30 Mental Models to Add to Your Thinking Toolbox. Online: https://nesslabs.com/
Merrienboer, Jeroen. J.G. Van dan Kirschner, Paul. 2007. Ten Steps to Complex Learning: A New Approach to Instruction and Instructional Design. Mahwah, N.J.: Lawrence Erlbaum Associates
Peraturan Dirjen GTK nomor 2626/ B/ HK.04.01 tahun 2023 tentang Model Kompetensi Guru
Permendikbudristek nomor 14 tahun 2022 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Besar Guru Penggerak dan Balai Guru Penggerak
PermenpanRB no. 21 tahun 2024 tentang Jabatan Fungsional Guru
Undang-undang no. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen