Perubahan merupakan keniscayaan. Enggan
beradaptasi pelan pelan tertinggal. Begitupun pada proses pembelajaran. Saat
ini, siswa dihadapkan pada era digital yang sarat informasi dan kompetisi
global. Agar mampu menghadapi tantangan tersebut, peserta didik tidak cukup
hanya menghafal materi, tetapi juga perlu memiliki kemampuan berpikir kritis,
kreatif, dan mampu memecahkan masalah nyata.
Proses pembelajaran di kelas, masih
ditemukan guru memposisikan dirinya sebagai pusat informasi. Proses belajar
seperti ini membuat siswa cenderung pasif. Untuk mengatasinya, tentunya guru
diperlukan pendekatan pembelajaran yang memberi ruang lebih besar bagi siswa
untuk mengeksplorasi, mencoba, bahkan menemukan sendiri pengetahuannya. Salah satu pendekatan yang bisa
menjawab kebutuhan tersebut adalah discovery learning.
Artikel ini, ditulis dengan
latarbelakang kebutuhan guru untuk memahami dan menguasai strategi pembelajaran
yang sesuai dengan kebutuhan belajr siswa. Saat ini siswa perlu mendapat
pengalaman belajar meliputi memahami, mengaplikasi dan merefleksi. Pengalaman
belajar tersebut kiranya dapat diakomodir jika proses belajar dirancang untuk
memberikan pengalaman secara langsung sebagai para penemu atau peneliti dalam
melakukan pekerjaannya, yaitu pembelajaran aktif, kolaboratif, dan kontekstual.
Pembelajaran yang memberikan pengalaman langsung, tentunya akan lebih bermakna
dan berkesadaran sert tentu saja siswa dapat melalui proses belajar dengan
gembira, karena mereka melakukan aktivitas belajar secara optimal dan membangun
rasa keingintahuan mereka.
Discovery learning menjadi penting
untuk diperkenalkan karena mendukung pengembangan kompetensi abad 21. Siswa
belajar mengamati, mengajukan pertanyaan, menguji hipotesis, dan menarik
kesimpulan; meningkatkan kemandirian belajar. Dengan diberi kesempatan
untuk menemukan pengetahuan, siswa menjadi lebih percaya diri dan terbiasa
belajar mandiri. menciptakan pengalaman belajar bermakna. Pengetahuan yang
ditemukan sendiri cenderung lebih melekat dibandingkan dengan informasi yang
hanya diterima secara pasif; relevan dengan profil pelajar Pancasila. Discovery
learning dapat melatih siswa untuk bernalar kritis, kreatif, mandiri, dan
bergotong royong. Artikel ini diharapkan dapat mengingaktkan kembali bagi guru
dalam memahami dan menerapkan discovery learning di kelas.
Pembelajaran Discovery
Konsep discovery learning
diperkenalkan oleh Jerome S. Bruner pada tahun 1960-an. Bruner berpendapat bahwa proses belajar
yang paling baik terjadi ketika siswa secara aktif terlibat dalam proses
menemukan pengetahuan. Menurutnya, belajar bukan hanya menerima informasi,
melainkan juga membangun struktur kognitif yang diperoleh melalui pengalaman
langsung.
Secara sederhana, discovery learning
dapat dipahami sebagai suatu proses pembelajaran di mana siswa didorong untuk
menemukan konsep, prinsip, atau aturan baru melalui kegiatan eksplorasi dan
pemecahan masalah. Peran guru bukan lagi sebagai sumber utama pengetahuan,
melainkan sebagai fasilitator yang mengarahkan proses belajar siswa.
Ciri-ciri discovery learning
antara lain:
- Berpusat pada siswa (student-centered
learning).
- Menekankan
eksplorasi, eksperimen, dan investigasi.
- Memberikan
kesempatan pada siswa untuk mengajukan pertanyaan dan hipotesis.
- Guru
berperan sebagai pembimbing, bukan pemberi jawaban.
- Hasil
belajar lebih bermakna karena ditemukan sendiri oleh siswa

Gambar 1. Proses pengolahan data
Mengapa discovery learning pantas
untuk di refresh kembali?
discovery learning memiliki tujuan
pembelajaran bukan hanya untuk menguasai isi materi, melainkan juga melatih
siswa tentang strategi belajar. Diantaranya adalah bagaimana siswa meneliti,
menemukan, membuktikan, dan menyimpulkan pengetahuan. Adapun hasil belajar
siswa, apabila guru menggunakan model pembelajaran discovery adalah:
1. Kognitif
- Siswa mampu menemukan pola untuk memahami konsep,
prinsip, atau aturan melalui pengalaman belajar.
- Siswa terampil untuk menghubungkan pengetahuan baru
dengan pengetahuan sebelumnya.
- Siswa terlatih untuk berpikir kritis, logis, dan
analitis.
- Siswa mampu memecahkan masalah melalui penalaran dan
pembuktian.
2. Afektif
- Menumbuhkan rasa ingin tahu terhadap fenomena atau
masalah.
- Mengembangkan sikap mandiri, ulet, dan tidak mudah
menyerah dalam menemukan jawaban.
- Menumbuhkan sikap terbuka terhadap berbagai ide dan
sudut pandang.
3. Psikomotorik
- Siswa terampil mengobservasi, mengumpulkan data, dan
mengolah informasi.
- Siswa mampu menggunakan alat, sumber belajar, atau
teknologi untuk mendukung penemuan.
- Siswa dapat menyajikan hasil penemuannya dalam
bentuk lisan, tulisan, atau karya.
4. Tujuan pengiring (transfer &
soft skills)
- Melatih keterampilan metakognitif (menyadari
bagaimana mereka belajar).
- Pembiasaan
bagi siswa untuk belajar sepanjang hayat (lifelong learning).
- Membentuk sikap percayaan diri dalam mengambil
keputusan berdasarkan bukti.
Sintaks Pembelajaran Discovery
Penerapan discovery learning
umumnya mengikuti enam langkah utama. Setiap langkah memiliki fungsi yang saling terkait untuk
memastikan siswa mendapat pengalaman belajar melalui proses penemuan. Keenam langkah tersebut adalah:
- Stimulasi / memantik masalah
Guru menghadirkan fenomena, pertanyaan, atau masalah yang
memicu rasa ingin tahu siswa. Misalnya, guru menampilkan gambar tanaman sehat
dan tanaman layu untuk memantik pertanyaan mengapa hal itu bisa terjadi.
- Identifikasi masalah
Siswa, dengan bimbingan guru, merumuskan pertanyaan atau
hipotesis yang akan dijawab. Contoh:
"Apakah cahaya berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman?"
- Pengumpulan data
Siswa
mengumpulkan informasi yang relevan melalui observasi, membaca sumber,
melakukan percobaan, atau wawancara.
- Pengolahan data
Informasi yang diperoleh kemudian diorganisasikan,
dicatat, dibandingkan, dan dianalisis. Pada tahap ini, siswa mulai melihat pola
atau hubungan antar data.
- Verifikasi / Pembuktian
Siswa
membandingkan data dengan hipotesis awal untuk menguji kebenarannya. Jika
hipotesis tidak sesuai, siswa dapat merevisi pemahamannya.
- Kesimpulan
Berdasarkan pembuktian, siswa merumuskan kesimpulan
berupa konsep atau prinsip baru. Misalnya: "Tanaman membutuhkan cahaya
untuk dapat tumbuh dengan baik."
Dengan mengikuti langkah-langkah ini,
diharapkan siswa dapat memiliki pengalaman belajar melalui proses ilmiah, bukan
sekadar menghafal pengetahuan.
Sintaks discovery learning
kok mirip dengan inquiry learning, benarkah?
ide awalnya Schwab mengkategorikan
inquiry tingkat keterbukaan. Schwab
mengusulkan pembagian level inquiry (sering dikutip sebagai sumber konsep 3
tingkat).
Secara umum, inquiry learning dikategorikan menjadi 4 level, yaitu confirmation, structured, guided
dan open. Pada tulisan
ini, penulis lebih cenderung mengkategorikan menjadi 3, yaitu structuredguided
dan open. Structured ini lah discovery learning yang kita kenal sekarang. Jadi
sangat wajar jika Langkah pembelajarannya mirip. Pembeda utamanya adalah pada
keterbukaan guru dalam melakukan proses pembelajaran. Pada discovery learning,
guru biasanya menyiapkan perangkat belajar maupun lembar kerja siswa secara
lengkap. Adapun pada guided, maka guru hanya menyiapkan pertanyaan pertanyaan
pemantik.

Gambar 2. Pengkategorian inquiry
learning
Simpulan
Discovery learning merupakan sebuah pembelajaran
yang mendorong siswa untuk aktif menemukan pengetahuan melalui tahapan yang
terstruktur. Pembelajaran discovery memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengalami langsung proses berpikir ilmiah, mulai dari mengamati, bertanya,
mengumpulkan data, hingga menarik kesimpulan. Guru memiliki peran penting
sebagai fasilitator yang mengarahkan jalannya pembelajaran tanpa mendikte hasil
akhir.
Manfaat
Penerapan discovery learning
membawa banyak manfaat, di antaranya:
Bagi siswa
melatih kemandirian belajar,
menumbuhkan rasa ingin tahu, meningkatkan kemampuan berpikir kritis, serta
membuat pengetahuan lebih bermakna.
Bagi guru
Menjadi strategi pembelajaran
aternatif yang variatif, interaktif, dan sesuai dengan kebutuhan siswa.
Bagi dunia pendidikan
Mendukung penumbuhan 8 dimensi profil
lulusan pendidikan di Indonesia yang bernalar kritis, kreatif, mandiri, dan
kolaboratif.
Dengan berbagai manfaat tersebut,
discovery learning layak menjadi salah satu model pembelajaran utama yang digunakan
di sekolah-sekolah untuk menjawab tantangan pendidikan abad 21.
Daftar Kepustakaan
Bruner, J. S. (1961). The Act of Discovery. Harvard
Educational Review.
Schwab, J. J. — The Teaching of
Science as Enquiry (chapter / collected volume). (lihat kutipan dan edisi di
Harvard Univ. Press).
Herron, M. D. (1971). The Nature of
Scientific Enquiry. School Review. — (artikel inti yang memformalkan “levels of
openness”).
Banchi, H. & Bell, R. (2008). The Many Levels of Inquiry (NSTA article / pdf) — ringkasan operasional yang sering dipakai pelatihan guru
Hosnan, M. (2014). Pendekatan Saintifik
dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sanjaya, W. (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Trianto. (2009). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana.
*) Pengembang
Teknologi Pembelajaran